Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso



Bulan lalu, dokumenter ini cukup booming di Netflix, padahal kasusnya sudah ditutup beberapa tahun yang lampau dan hukumannya sudah ditetapkan. 

Berkisah tentang Jessica Wongso yang dituduh meracuni Wayan Mirna di sebuah kafe. Dokumenter ini melibatkan beberapa tokoh yang terlibat mulai dari ayah Mirna, saudari kembarnya, manajer kafe, hingga para saksi dan terutama pengacara korban, Otto Hasibuan.

Karena dokumenter ini mulai bertebaran perbincangan tentang apakah benar Jessica pembunuh Mirna? Atau dia hanya dijebak? 

Cara penyampaian kisah di dokumenter ini sangat runtun dan dramatis. Bahkan tidak ragu membawa beberapa saksi ahli yang memiliki pendapat kontroversial bila melihat dijatuhkannya vonis.

Sayangnya, menurut gue yang di sampaikan terkesan kurang imbang karena lebih banyak menampilkan dari satu sisi, sementara dari sisi berseberangan kurang lengkap, sehingga arahnya seperti penggiringan opini. Tapi itu wajar, dimana-mana yang namanya kontroversi pembelaan kecenderungannya mengarahkan, sebab nanti berhubungan dengan membangun kesimpulan, yang akhirnya berujung pada sebuah keputusan oleh seorang hakim.


Walaupun begitu, menyimak kembali kasus Jessica tentu boleh saja untuk membentuk kesadaran masyarakat akan hukum di negara kita. Asalkan kasusnya benar-benar dipelajari juga dari berbagai sumber, bukan hanya dari satu narasi saja. 

Sebagai contoh, kita bisa cari di YouTube pendapat ahli yang terlibat dalam kasus Jessica, sehingga bisa melihat juga dari di sisi Jaksa.  

Itu akan menjawab pertanyaan yang masih heboh di media sosial : 

Mengapa tidak dilakukan otopsi secara menyeluruh? 

Apakah benar warna kulit korban tidak berubah menjadi merah muda?

Salah satu pembelajaran yang didapat, bahwa normal kalau kita punya subyektivitas, terutama dalam menilai manusia lain, namun hanya karena seseorang perilakunya di mata kita nggak menyenangkan, bukan berarti yang disampaikannya itu salah. Masih perlu melalui pemeriksaan dari para ahli dengan menggunakan metode pembuktian yang memang sudah pakemnya dijalankan.  Dalam pandangan gue, pihak penuntut pasti sangat berhati-hati, terlebih kasus ini menjadi sorotan banyak mata pada saat itu.


Bila disini menggunakan cara pengadilan Anglo-Saxon (dianut oleh negara-negara berbahasa Inggris), yaitu adanya 12 juri, mungkin alur dokumenter ini akan lebih seru. Tapi nggak mungkin, karena kita menganut Common Law (bersumber pada hukum Belanda yang merupakan hukum Eropa). Pembuat dokumenter harus pintar-pintar membuatnya menjadi menarik. 

Dan lumayan berhasil, buktinya langsung booming. 

Kalau ditanya, siapa pihak yang paling diuntungkan sebenarnya dari kisah Ice Cold ini? Maka jawaban gue adalah Netflix.😂

Sudah nonton dokumenter ini? Bagaimana menurutmu?


Gambar fitur diambil dari pixabay






Post a Comment

6 Comments

  1. baru tau juga ada dokumentarnya di netflix, tar ah coba nonton, coz dulu juga ngikutin kasus ini :)

    ReplyDelete
  2. Belum sempet nonton ini di Netflix, tapi nyimak keramaiannya di Twitter. Bahkan sampai nontonin podcastnya Om Deddy. Kalau diliat emang kesannya jadi penggiringan opini ya karena katanya mayatnya ternyata nggak diautopsi dan kandungan sianidanya juga sedikit sekali.

    Btw, pernah ngikutin kasus JIS nggak mbak? Itu juga katanya para OB dan gurunya dipaksakan jadi tersangka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya makanya dari sisi penuntut ada penjelasannya dengan dokumen juga. Namanya juga mencari yang bisa digoreng supaya menarik.

      Ngikutin, kalau digali kembali dan dibuat jadi dokumenter menarik itu. Jatuhnya jadi seperti kasus Jhonny Depp dan Amber Heard. Sayang para pelaku atau tokoh sudah tidak di Indonesia ya (kalau nggak salah).

      Delete
  3. Jadi penasaran nonton dokumenter ini di netflix.
    Memang belakangan kasus ini jadi ramai dibahas ya...

    Tapi ngomong-ngomong kalau nonton film berlatar belakang hukum, asiknya nonton film yang dari novelnya John Grisham ya Mbak? Maaf, jadi out of topic nih.

    Salam,

    Salam,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sempat ramai bulan-bulan lalu, mas. Maklum dokumenter baru. Ah nggak apa2, kalau film dari novel John Grisham memang rata-rata seru-seru. Kadang ada beberapa yang lebih bagus versi film daripada novelnya.

      Delete